Blogroll

Selasa, 12 September 2017

Karawo: From Zero To New York



Indonesia tidak hanya di anugerahi Tuhan dengan alam yang luar biasa. Tapi juga di titipkan warisan budaya yang beragam. Dari sabang hinggaMerauke banyak terdapat berbagai macam kain khas daerah. Baik yang ditenun, disulam, hingga dicap. Mulai dari Batik di Pulau Jawa, Songket di Sumatera hingga  Karawo di Sulawesi. 

Dua yang disebutkan pertama tentu sudah kamu kenal bahkan (mungkin) sudah pernah kamu kenakan. Namun yang disebut terakhir masih belum familiar dikalangan pecinta kain nusantara. Yaa, Karawo, merupakan teknik sulaman dari Sulawesi, tepatnya Gorontalo. Kain Kerawang (Karawo) belakangan mulai digandrungi. Bukan hanya oleh kaum tua, tapi juga sudah mulai masuk ke ranah anak muda yang notabene nya agak malu malu mengenakan kain seperti ini.

Sejarah Karawo sudah ada sejak tahun 1600an, jauh sebelum bangsa Belanda menginjakan kakinya di tanah Gorontalo. Tradisi Mokarawo atau membuat sulaman telah menjadi aktivitas sehari hari perempuan di masa kerajaan Gorontalo masih berjaya. Kedatangan penjajah membuat tradisi mokarawo harus dilakukan secara diam diam di ruang ruang rumah setiap rakyat Gorontalo. 

Proses penyulaman hingga menghasilkan sebuah kain karawo membutuhkan waktu 10-30 hari. Ada tiga tahap dalam pembuatan kain karawo. Pertama, iris-cabut. Kedua menyulam, dan terakhir proses finishing. Tidak mengherankan jika kain karawo merupakan kain dengan citarasa seni yang tinggi.

Era tahun 60an menjadi tonggak sejarah "lahir"nya kembali tradisi Mokarawo di setiap nadi perempuan Gorontalo. Saat itu hampir semua wanita Gorontalo memiliki keahlian Mokarawo. Walau demikian bukan berarti kain Karawo mudah di dapatkan. Pada masa itu jika pembeli ingin menebus kain karawo harus terlebih dahulu memesan pada penyulamnya.

Memasuki masa abad milenium, Karawo tetaplah menjadi tamu di rumah sendiri. Keengganan generasi muda untuk mengenakan kain karawo menjadi faktor dibalik tersendatnya kepopuleran kain sulaman yang satu ini. Motif dan modelnya dicap ketinggalan zaman. Karawo di identikan sebagai pakaian generasi tua, tidak cocok dikenakan remaja.

Hingga tahun 2011 dicetuskanlah Festival Karawo untuk pertama kalinya, sebagai buah keresahan akan tenggelamnya warisan budaya nenek moyang orang Gorontalo tersebut. Festival inilah yang menjadi "trigger" kain Karawo terkenal dikalangan anak muda. Pemecahan rekor Muri untuk penyulam karawo terbanyak hingga munculnya para desainer lokal yang fokus pada pengembangan motif dan desainnya.



Dari sekian banyak desainer lokal, ada satu nama yang sangat concern terhadap motif karawo. Agus Lahinta, begitu nama akrabnya. Dengan dedikasi dan passion yang tinggi terhadap kelangsungan ekosistem kain Karawo, menjadikan pria single yang juga berprofesi sebagai dosen ini berhasil membawa harum nama Kain Karawo hingga kancah dunia.

Tampilnya desain kain karawo di ajang Couture New York Fashion Week 2017 menjadi sejarah tersendiri bagi kain Karawo yang selama ini masih dibawah bayang bayang batik, songket hingga kain tenun khas sumba. Publik nusantara hingga dunia bakal tahu bahwa di Indonesia adapula kain sulaman yang tidak kalah indahnya dibanding kain kain dari daerah lain.

Masih malu menggunakan kain Karawo?

Ayo ke Gorontalo, Rumah Karawo.